I Miss You

God is love. He is the Pioneer of committed relationships, including marriage. He even sees our relationship with Him analogous with a relationship between grooms and brides. Hence, church SHOULD care more about preparing Christians for marriage.

 

Nyok, kita intip dua point saja sebagai reminder untuk membantu kita memiliki jangkar/fondasi yang benar tentang pernikahan, yang akan kita pelajari dari cerita pembicaraan Yesus dengan wanita Samaria.

 

1. Before marriage, we should be "full" first

Yes yes. Point tentang "sebelum merit harus siap dulu blablabla" lagi. But, it's just THAT important that it deserves constant reminders. Kembali pada judul devotion hari ini. When we say “I miss you”… You miss what exactly, hah? Apa yang kamu rindukan? Kangenin apanya sih? Apa yang kamu cari? Apa sih yang membuat kamu sebegitu “bucin”nya dengan seseorang, bahkan terkadang bisa sampai mengorbankan banyak hal dalam hidup?

 

Mengerikannya adalah, apakah setelah semua effort itu dilakukan, dijamin akan bahagia? *Tidak, belum tentu*. Banyak yang setelah masa adrenalin cinta monkey love bombing-nya sudah lewat, cari lagi yang baru. Tetap kesepian. Tetap cari hal lain lagi.  

 

Yohanes 4:13-14 (TSI)

“Lalu Yesus menjawab, “Setiap orang yang minum air dari sumur ini akan haus lagi. Tetapi siapa saja yang minum air yang akan Ku-berikan tidak akan haus lagi untuk selama-lamanya. Karena air itu akan menjadi seperti mata air di dalam dirinya, yang akan terus mengalir dan memberinya hidup yang selama-lamanya.”

 

Pertanyaan pemancing:

Apakah kita sudah tahu value kita? What matters to you? What kind of person you want to be? Apa yang kita suka dan tidak suka? Yang kita tak bisa korbankan? Partner seperti apa yang kita cari?

Bagi kamu yang sudah pernah mengalami putusnya hubungan, sudah tahu kah peran kita dalam gagalnya hubungan itu? Dan tidak hanya menyalahkan dunia/partner saja? Apa yang kita pelajari dari kegagalan itu? Apa yang salah? Filter kita kah? Atau hal-hal di luar kendali? (Perbedaan fundamental seperti cara pandang akan hal penting misalnya).

 

Kalau kitanya aja belum tahu apa yang kita suka dan tidak suka, ya wajar nanti ketika memiliki partner, jadi ngawur nggak karuan. Toh, dari awal tidak jelas kita mengenal diri dan orang lainnya.

 

Mungkin ketimbang kebanyakkan Googling “ide hadiah Valentine untuk doi” yang akan munculnya berbagai jenis hampers, bunga, personalized photos, ataupun kain hangat untuk datang bulannya wanita, sudah saatnya kita juga Googling “Pre-Marital questions to ask before we say ‘Yes, I do’”?

Singleness is not an independence of responsibilities, it is an acceptance of more responsibilities to develop our maturity.

Kalau kita tidak siap, lalu maksa merit.. Apa yang bisa terjadi? Pertanyaan ini membawa kita pada point kedua:

 

2. The consequence(s) of failed marriage are fatal

"Pre-marriage screening? Konseling sebelum menikah? Ngomongin atur financial pas merit nanti? Bangun hubungan sama calon mertua? Sering nongki sama circlenya pasangan? Ngapain? Dijalani bareng-bareng juga akan dibukakan jalan kok!"

-Quote dari banyak sekali pasangan sebelum merasakan konsekuensi dari ketidaksiapan menikahahahah.

 

Kehancuran hubungan tidak hanya melukai pasangannya saja, melainkan juga anak-anaknya, keluarga, sahabat yang support, dan berpotensi menghancurkan masa depan karena stress yang ditimbulkan.

 

If we don't plan, then we plan to fail, including marriage.

“Kan, tinggal cerai aja kalau gagal.”

Okelah, ANGGAPLAH value Anda tidak peduli dengan cerai boleh tidak boleh. Trust me, divorce is not the antidote.

 

Yohanes 4:16-18 (TB)

Kata Yesus kepadanya: "Pergilah, panggillah suamimu dan datang ke sini." Kata perempuan itu: "Aku tidak mempunyai suami." Kata Yesus kepadanya: "Tepat katamu, bahwa engkau tidak mempunyai suami, sebab engkau sudah mempunyai lima suami dan yang ada sekarang padamu, bukanlah suamimu. Dalam hal ini engkau berkata benar."

 

Para pembaca, percaya tidak percaya, dalam pengalaman praktik profesional saya.. Sudah biasa banget untuk melihat orang kawin cerai seenaknya, ada juga yang balik lagi ke “pacar” pertamanya setelah cerai ketiga kalinya, ada juga yang rela dijadikan pacar diem-diem orang lain setelah pisah ranjang, dan lain-lain. Hey, regardless of your religions and beliefs, the antidote to meaningful relationships is developing clear foundations and values, not gambling new relationships!

Jadi teringat perkataan salah satu hamba Tuhan, Jeffrey Rachmat:
“Pernikahan bukanlah dua gelas setengah kosong disatukan menjadi satu gelas penuh, melainkan ketika dua gelas yang sudah penuh disatukan, sehingga airnya melimpah keluar dan menjadi berkat bagi banyak orang.”

 

Bukankah kehidupan pernikahan seperti itulah yang seharusnya kita kejar? Bukannya saling nge-draining dan menuntut? Mari kita bangun hubungan yang menjadi teladan bagi dunia. Sulit, tapi memang semua yang indah itu tidak mudah.

 

God is love, and He wants us to have a lovely relationship. Yuk, jangan malas lagi memproses diri. Bukan hanya untukmu, tapi juga untuk orang yang kamu kasihi 🙂

“So.. Are we missing the right thing in our life? Or are we still just looking for things to satisfy our worldly needs?”

God bless you.

Previous
Previous

Indah pada Waktu-Nya

Next
Next

Menikah, Buat Apa?