I Choose to Love You
1 Peter 4:8 (ESV)
“Above all, keep loving one another earnestly, since love covers a multitude of sins.”
Akibat dari dosa, dunia menjadi tidak sempurna. Akibat ketidaksempurnaan, segala sesuatu tidak bekerja semestinya atau menjadi tidak sesuai dengan desain semulanya Tuhan. Tubuh kita tidak bekerja dengan semestinya, ada sakit penyakit. Alam juga menjadi kacau karena natur dari alam itu sendiri, dan juga dari pengelolaan manusia yang salah. Apalagi yang tidak sempurna? Ya manusia itu sendiri. Bisa bayangkan apa yang terjadi kalau ada dua manusia tidak sempurna bersatu? Terjadilah konflik. Dalam hubungan apapun, 100% pasti akan ada konflik, tidak mungkin tidak.
Berdasarkan studi dari Gottman Institute, salah satu tim peneliti terbaik di dunia mengenai pernikahan yang sudah mempelajari ribuan pasangan suami-istri menyatakan bahwa konflik bukanlah masalah itu sendiri, melainkan cara mengatasi konfliknya, hingga ada modul therapy khusus untuk hal ini (i.e., Managing Conflict).
Ada dua macam konflik:
-Solvable Problems: Masalah yang dapat “diatasi”, biasanya bersifat praktis. Misalnya, bagi tugas rumah tangga, mengatur keuangan, cara mendidik anak, dan lain sebagainya.
-Perpetual Problems: Masalah yang terjadi akibat perbedaan fundamental/mendasar dari kedua orang. Misalnya, perbedaan cara pandang tentang sebuah value, preferensi menghabiskan waktu liburan, perbedaan kebutuhan karena perbedaan personality, dan lain-lain. Tipe inilah yang biasanya menyebabkan perang besar kalau tidak bisa dikondisikan dengan baik. Kabar buruknya, 69% masalah dikategorikan sebagai “Perpetual Problems”.
Apakah itu sepenuhnya kabar buruk? Tidak juga. Masalahnya bukan di jenis konfliknya, namun bagaimana menyikapi perbedaannya. Dari perspektif sekuler sekalipun, pasangan yang sudah hancur belebur dhuarr sekalipun tetap bisa dipulihkan. Variabel terbesarnya? Ketika kedua belah pihak secara sengaja mau mengusahakan hubungan. Dan hal ini tidak akan bisa dilakukan tanpa adanya “keputusan” untuk mengasihi.
Bisa bayangkan kalau kita harus tinggal seumur hidup dengan seseorang yang berbeda dengan kita, kalau kita belum belajar pentingnya memilih untuk mengasihi dan memaafkan?
Kabar baiknya adalah, di dalam kasih karunia Tuhan, hal ini sangatlah memungkinkan untuk dilakukan. Tuhan lah yang duluan menunjukkan teladan ini.
Romans 5:8 (NLT)
“Now, most people would not be willing to die for an upright person, though someone might perhaps be willing to die for a person who is especially good. But God showed his great love for us by sending Christ to die for us while we were still sinners.”
Sadarkan kita bahwa Tuhan sebetulnya punya pilihan untuk membiarkan kita menerima konsekuensi dari dosa yang kita lakukan sendiri? Untuk binasa total? Ingat, Tuhan tidak rugi apa-apa kalaupun kita harus binasa kok. Tapi, Allah memilih untuk membuktikan kasihNya melalui pengorbananNya di kayu salib.
Jadi, ketika kita bilang: “I love you”, betul-betul dimaknai kah? Hubungan yang baik tidak bisa dijalani oleh mereka yang masih “bocah” yang maunya menuruti naluri dan keinginannya sendiri. Untuk bisa “memutuskan” dengan bijaksana, diperlukan kedewasaan. Are we ready for that?
“Kasih hanyalah teruji ketika kita tetap menunjukkan tindakan dan perkataan kasih, meskipun sebetulnya kita memiliki pilihan untuk tidak mengasihi.”
Konflik seharusnya bukanlah menjadi jurang yang semakin memisahkan hubungan, melainkan menjadi bahan pembelajaran untuk bisa lebih lagi memahami sudut pandang pasangan/calon pasangan kita yang berbeda. Untuk apa? Untuk mengasihi dengan lebih dalam lagi.
Deeper in love, not deeper in wounds.
Marriage is truly the union of two greatest forgivers.
God bless you.