Asin

”Kamu adalah garam dunia.” Matius 5:13a TB

Saya selama beberapa hari ke belakang ini terngiang dengan kalimat Ps. Raguel yang mengatakan bahwa garam itu berfungsi baik dalam jumlah yang sedikit. Garam adalah perasa yang harus dimasukkan ke dalam makanan dengan porsi tepat, terlalu sedikit akan hambar, terlalu banyak akan keasinan. Jika Tuhan Yesus mengatakan bahwa kita adalah garam dunia, maka diri kita harus berada pada porsi yang tepat. Terlalu sedikit maka kita akan menjadi minderan, terlalu banyak bisa menjadi “asin” buat orang sekitar, bahkan kalau seorang individu itu terlalu “full-of-self” maka bisa menjadi pribadi yang egois dan narsistik.

Agar kita tidak menjadi pribadi yang egois, kita harus senantiasa memeriksa diri kita sendiri karena sifat egois dapat merusak, karena begitu mementingkan diri sendiri. Di sini saya teringat kisah Nebukadnezar dalam Daniel 4. Nebukadnezar adalah raja Babel pada tahun 605-562 SM. Ia selalu berpikir dirinya lebih baik dan lebih tinggi dari orang lain. Hingga pada suatu saat Allah membuatnya kehilangan kewarasannya dan menjadi seperti hewan, sampai ia sadar dan merendahkan diri di hadapan Allah lalu sembuh. Pada Matius 16 juga dikatakan agar kita tidak boleh bersikap egois:

“Apa gunanya seorang memperoleh seluruh dunia tetapi kehilangan nyawanya? Dan apakah yang dapat diberikannya sebagai ganti nyawanya?” – Matius 16:26 TB

Cara lain untuk menghindari sifat egois dapat kita lihat dari hukum kasih yang kedua. Kita harus dapat memperlakukan orang lain sebagaimana kita ingin diperlakukan oleh orang lain. Kita tidak boleh menganggap orang lain rendah, karena kita sendiri tidak ingin direndahkan, bukan? Begitu juga jangan memandang orang lain lebih tinggi dari kita, karena itu tidak baik bagi kesehatan mental dan membuat diri kita merasa minder dan inferior dibanding orang lain. Ingat, kelebihan garam = asin, kurang garam = hambar.

“Dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.” – Matius 22:39

Hal terakhir namun yang terpenting adalah kita harus membiarkan Tuhan mengambil alih seluruh hidup kita agar kita dapat melihat dunia dari perspektif Tuhan. Jalan pikiran manusia sangat berbeda dari jalan pikiran Tuhan. Kita masih memiliki jalan pikiran yang instinctive, yang mementingkan diri sendiri, sedangkan Tuhan tidak begitu. Kita bisa melihat bagaimana ketidakegoisan Tuhan hingga Ia mengorbankan diriNya sendiri di atas salib demi menanggung dosa kita. Kalau kita? Jangankan berkorban nyawa demi orang lain, kerjain tugas gantiin teman yang tadinya bukan tugas kita aja kita suka ngedumel.

“namun aku hidup, tetapi bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku. Dan hidupku yang kuhidupi sekarang di dalam daging, adalah hidup oleh iman dalam Anak Allah yang telah mengasihi aku dan menyerahkan diri-Nya untuk aku.” – Galatia 2:20 TB

Nah, sekarang jika kita sudah menerima anugerah Kristus yang telah mati disalib bagi kita, maka salah satu cara untuk merespons adalah dengan tidak menjadi orang egois dan menjadi saluran kasih Yesus kepada sesama, agar orang lain dapat mengenal kasih Kristus melalui hidup kita dan membawa kemuliaan bagi namaNya! Soli Deo Gloria! Jesus bless you!

Previous
Previous

Bukan Hasil Usahaku, tapi Karena Kasih Karunia

Next
Next

Kasih Tanpa Pamrih