Gengsi atau Rekonsiliasi?
Seringkali, orang lebih menjaga gengsi daripada menjaga relasinya. Lebih baik sebuah hubungan hancur, daripada harus turun gengsi. Padahal jika ditimbang, mana yang lebih rugi?
Kesombongan adalah asal muasal gengsi. Kita mati-matian hidup dengan gengsi, padahal kesombongan yang dipertahankan seumur hidup dapat berakhir memalukan hingga mematikan.
“Karena Yesus melihat, bahwa tamu-tamu berusaha menduduki tempat-tempat kehormatan, Ia mengatakan perumpamaan ini kepada mereka: ”Kalau seorang mengundang engkau ke pesta perkawinan, janganlah duduk di tempat kehormatan, sebab mungkin orang itu telah mengundang seorang yang lebih terhormat dari padamu, supaya orang itu, yang mengundang engkau dan dia, jangan datang dan berkata kepadamu: Berilah tempat ini kepada orang itu. Lalu engkau dengan malu harus pergi duduk di tempat yang paling rendah.”
Luka 14:7-9
“Setiap orang yang tinggi hati adalah kekejian bagi Tuhan; sungguh, ia tidak akan luput dari hukuman.”
Amsal 16:5
Perenungan hari ini sangat sederhana, namun seringkali berat dilakukan, sebab melawan diri sendiri memang lebih sulit dari apapun.
Sudahkah kita singkirkan gengsi demi tercipta rekonsiliasi?
Memulai pembicaraan, meminta maaf dan memaafkan, berpelukan dan berbaikan. Bukan cuma perang dingin yang akan berakhir, cahaya kedamaian juga akan terbit di ufuk timur hatimu hingga menghangatkan seluruh duniamu.
Mungkin selama ini, ada kemarahan yang tak sadar engkau pendam, ada cerita yang belum selesai, ada luka yang terkubur. Semua yang membuat langkahmu menjadi berat, karena engkau mengangkat beban yang salah, yang tidak seharusnya engkau pikul.
“Pikullah kuk yang Kupasang dan belajarlah pada-Ku, karena Aku lemah lembut dan rendah hati dan jiwamu akan mendapat ketenangan.” (Matius 11:29)
Ternyata ketenangan jiwa kita peroleh, dengan menyerahkan seluruh hidup di bawah ketetapanNya. Senantiasa taat meresponi segala hal dalam kelemahlembutan dan kerendahan hati seperti Yesus telah menghidupinya.
Yesus mengosongkan DiriNya. Ia tidak menganggap kesetaraan dengan Allah sebagai milik yang harus dipertahankan. Jika Yesus saja mengabaikan hak setaraNya dengan Allah, siapa kita tidak rela membuang gengsi semata.
Pada akhirnya, pilihan ada padamu. Mau mengejar kepuasan daging, atau perkenanan hati Tuhan?
Memegang erat gengsi, namun kehilangan sukacita yang mestinya bisa kau dapatkan?
Atau rela membuang gengsi, dan bersiap alami pemulihan yang tak pernah kau bayangkan sebelumnya?