Jangkar Keluarga

Apa yang kuperintahkan kepadamu pada hari ini haruslah engkau perhatikan, haruslah engkau mengajarkannya berulang-ulang kepada anak-anakmu dan membicarakannya apabila engkau duduk di rumahmu, apabila engkau sedang dalam perjalanan, apabila engkau berbaring dan apabila engkau bangun.
— Ulangan 6:6-7 (TB)

Apakah mengajar itu artinya HANYA melalui ceramah? Nasihat secara verbal? Oh, tentu saja tidak. Metode mengajar itu ada banyak sekali. Pengajar yang peka akan cukup peka untuk mengetahui audience-nya itu paling efektif dapat belajar dengan cara apa. Ada yang lebih mudah menangkap pesan melalui platform visual, mempraktekkan langsung, ataupun memang diajarkan secara verbal saja. Namun, sepanjang masa, akan selalu ada metode mengajarkan pelajaran kehidupan yang terbaik, yaitu melalui teladan hidup.

Sudah terlalu banyak saya mendapati orang tua yang sibuk ngajarin anaknya melalui “khotbah” saja, tapi teladan hidupnya nol besar, hidup masih ngawur, tutur kata masih kasar, dan lain sebagainya (padahal bapak dan ibuknya pelayanan aktif banget, atau bahkan adalah “hamba Tuhan”). Terkadang, pihak parents masih mengadopsi pola pikir, “Yang penting saya uda kasihtau kebenaran. Anaknya nangkep atau enggak, urusan mereka.” Ini pola pikir yang salah besar. Anak (semua orang sih) adalah peniru ulung. They practice what they have observed, including our actions.

Mengapa bisa ada banyak mismatch seperti ini? Bisa jadi, karena orang tuanya sendiri pun tidak pernah dapat teladan yang benar dari grandparents mereka. Jangkarnya masih salah, yaitu masih kepada manusia. Padahal, jangkar kebenaran dan teladan kita harus selalu Yesus sendiri. Mari kita berkaca, selama ini, jangkar teladan kita ada di mana? Masih kepada manusia, atau Tuhan? Trust me, we often underestimate the influence that our words and actions have for our surroundings. We are greater influencers than we thought, so make every action counts. What kind of examples are we setting?

Next
Next

Terluka & Melukai