When Honor Feels Hard
Pernahkah kamu merasa sulit banget menghormati orang tuamu?
Bukan karena kamu tidak mau, tapi karena terlalu banyak luka yang tertinggal. Luka dari kata-kata tajam, perlakuan yang tidak adil, atau sikap yang membuatmu merasa tidak pernah cukup. Kamu ingin menghormati mereka, tapi di dalam hati ada suara kecil yang berkata, “Mereka bahkan nggak pantas dihormati.”
Tapi di situlah justru tantangannya. Tuhan tidak pernah bilang, “Hormatilah orang tuamu jika mereka baik.” Perintah itu tidak pakai syarat. “Honor your father and mother” (Efesus 6:2). Ini bukan tentang siapa mereka, tapi tentang siapa kita di hadapan Tuhan.
Menghormati tidak berarti menutup mata terhadap kesalahan. Menghormati bukan berarti pura-pura semuanya baik-baik saja. Menghormati adalah ketika kita memilih untuk menyerahkan luka kita kepada Tuhan, dan berkata, “Tuhan, aku masih sakit… tapi aku mau taat.”
Karena terkadang, honor is not an emotion, it’s a decision.
Sebuah keputusan untuk tidak membiarkan masa lalu menguasai masa depan kita. Sebuah langkah iman untuk berkata, “Aku mau belajar mengasihi mereka seperti Engkau mengasihiku — tanpa syarat.”
Saat kita memilih menghormati di tengah ketidaksempurnaan, kita sedang menulis ulang pola lama dalam keluarga kita. Kita menghentikan siklus dendam dan menggantinya dengan kasih. Kita menunjukkan bahwa kasih Tuhan cukup besar untuk menyembuhkan luka lintas generasi.
Yes, it hurts. Yes, it’s unfair sometimes. Tapi ketika kita tetap memilih untuk menghormati, kita sedang mempercayai bahwa Tuhan lebih tahu cara memulihkan hubungan daripada kita. Dan mungkin, melalui ketaatan kecil itu, Tuhan sedang mengubah bukan hanya hati kita — tapi juga hati mereka.
So when honor feels hard, remember: it’s not about their perfection.
It’s about our obedience.
Dan di situ, di tengah keputusan yang terasa berat itu, Tuhan sedang bekerja diam-diam — membentuk kita menjadi serupa dengan-Nya.