Bandel = Kutuk Antar Generasi

Sikap hormat dan takut akan TUHAN adalah cara yang pertama dan terutama untuk menjadi bijak, tetapi orang-orang bebal tidak menghargai kebijaksanaan dan tak mau diajar.
— Amsal 1:7 (TSI)

Sebagian besar dari pembaca mungkin sudah tidak asing dengan quotes seperti, “A good leader is a good follower” dan “Orang tua yang baik dulunya adalah anak yang baik”. Dan percayalah, itu benar sekali adanya. Dalam dunia praktek konseling, salah satu hal yang perlu kita identifikasi ketika bertemu dengan “klien baru” adalah… Apakah orang ini datang dengan hati sudah siap untuk menerima arahan, atau masih dalam fase mencari pembenaran? Betul, seringkali supaya hati seseorang bisa menjadi lembut dan mau dibentuk, seringkali orang lain berperan besar untuk menyemangati dam mendorong orang itu untuk berubah. However, at the end of the day, if at the core of their heart, they still refuse to have the humility / humbleness to learn, they will never get anywhere.

Saya rasa, kita semua familiar dengan orang-orang bandel model begitu. Biasanya kita label dengan “kolot”. Tapi berhati-hatilah, jangan sampai superiority complex kita membuat kita tidak sadar akan blind spot kelemahan kita. Jangan-jangan, tanpa sadar kita sedang mengulang banyak kesalahan dari orang lain? Cara mengecek kerendahan hati itu sederhana kok, yaitu tinggal lihat saja respon seseorang ketika ia menerima kritik (baik yang pedas maupun lemah lembut). Apakah dia menerima dengan baik? Atau reaktif defensif, bahkan tantrum kayak anak kecil?

Be very mindful of this, folks. Saya selalu bilang, orang yang rendah hati dapat belajar dari anak kecil sekalipun. Apakah selama ini kita sibuk mengkritik, tanpa menyadari feedback orang lain terhadap kita? Atau, tidak ada feedback? Mustahil, jangan-jangan orang di sekitar takut ngomong apa adanya ke kita, haha. Yuk kita terus aktif minta feedback dari sekitar kita. God wants us to grow, it’s the only way we can break intergenerational “curses”.

Next
Next

Leadership Bukan Soal Posisi