Bobot dan keindahan dari sebuah God’s Calling
“Lalu aku mendengar suara Tuhan berkata: ”Siapakah yang akan Kuutus, dan siapakah yang mau pergi untuk Aku?” Maka sahutku: ”Ini aku, utuslah aku!”
Ada dua bejana di atas meja sang penjunan. Satu sudah mengilap, bersih, dan terisi air, dikagumi banyak orang karena keindahannya. Yang satu lagi retak, masih berada dalam tangan penjunan, dibentuk dan dibentuk ulang tanpa henti.
Bejana pertama membanggakan diri, “Lihat betapa sempurnanya aku.”Namun sang penjunan berbisik pada bejana kedua, “Kau mungkin belum selesai, tapi melalui retakanmu, terang-Ku akan bersinar.”
Kepemimpinan dalam rancangan Allah seringkali lebih mirip bejana yang retak itu, yang terus dibentuk, belajar rendah hati dalam prosesnya, dan membiarkan terang Tuhan bersinar melalui ketidaksempurnaan kita.
Kepemimpinan bukan gelar yang kita kejar, tapi panggilan yang kita jawab. Banyak yang menginginkan pengaruh, namun hanya sedikit yang mengerti bahwa bobot sejati kepemimpinan bukan terletak pada kuasa, melainkan pada tanggung jawab, pengorbanan, dan ketaatan.
Panggilan bukan soal kemampuan, tetapi ketersediaan. Setiap “Ya Tuhan” menjadi titik awal transformasi, bukan hanya bagi orang lain, tetapi juga bagi jiwa kita sendiri.
Panggilan Tuhan akan selalu membawa kita ke tempat yang menuntut lebih banyak dari Dia dan lebih sedikit dari diri kita. Karena itu, kepemimpinan bukanlah pendakian ke atas, tetapi penurunan ke dalam kerendahan hati. Semakin tinggi panggilan, semakin dalam kerendahan yang dibutuhkan.
Jadi ketika jalannya terasa berat, ingatlah bahwa bahkan Yesus, Pemimpin sejati, membasuh kaki para murid-Nya. Otoritas-Nya tidak datang dari status, tetapi dari penyerahan diri.