It’s Not Rejection, It’s Redesign
Pada dasarnya, kita semua ingin yang terbaik dalam hidup. Walaupun sering kali, apa yang kita inginkan tidak selalu sejalan dengan apa yang benar-benar kita upayakan. Maunya hasil terbaik, tapi langkahnya setengah-setengah. Mager. Akhirnya, “hidup terbaik” cuma berhenti di angan—mimpi siang bolong. Hehe.
Tapi bagaimana kalau ceritanya berbeda?
Bagaimana kalau kita sudah menetapkan garis terbaik dalam hidup. Kita sudah menyusun strategi. Kita rela berkorban—tenaga, pikiran, waktu, bahkan uang. Kita benar-benar mengupayakan supaya hal terbaik itu happens. Skenarionya sudah matang. Jalannya panjang, berisik, penuh gedebak-gedebuk, tapi kita jalani dengan keyakinan karena kita tahu: kita on track. Bahkan hampir mencapai garis finish yang sejak awal kita tetapkan.
Lalu… tiba-tiba.
Satu kejadian di luar dugaan datang dan menginterupsi segalanya. Semua seperti ditarik kembali ke titik nol. Apa yang dulu terlihat jelas, perlahan memudar. Tidak ada lagi pintu terbuka. Bahkan pintunya pun tak terlihat.
Dan di tengah ketidakpastian itu, hidup membawa kita ke sebuah path baru—jalan yang sama sekali tidak pernah kita rencanakan. Masalahnya, kesan pertama dari jalan baru ini hampir selalu sama: tidak terlihat lebih baik dari semua yang sudah kita perjuangkan sebelumnya.
Di titik ini, kita berdiri di persimpangan,
Kita memilih bertanya kepada Tuhan, lalu belajar sepakat untuk berjalan di jalan baru yang Ia sediakan—meski awalnya sulit diterima dan sama sekali tidak kita mengerti kenapa harus mulai dari awal. atau
Kita memilih pahit hati kepada Tuhan, karena (menurut kita) Tuhan tidak memahami apa yang terbaik bagi hidup kita.
Firman ini bisa menolong kita menentukan jalan mana yang perlu kita ambil:
“Apa yang Aku perbuat, engkau tidak tahu sekarang, tetapi engkau akan mengertinya kelak.”
“aku tahu, bahwa Engkau sanggup melakukan segala sesuatu, dan tidak ada rencana-Mu yang gagal.”
Sering kali, rencana Tuhan saat pertama kali hadir tidak terlihat lebih baik dari apa yang kita anggap baik. Rencana itu baru terlihat baik—bahkan terbaik—seiring kita mulai berjalan di dalamnya.
Tuhan tidak memaksa kita percaya di awal. Namun, sepanjang perjalanan, melalui hal-hal yang perlahan kita pahami—bahkan sampai di ujung rencana-Nya—kita akhirnya sampai pada satu kesimpulan yang sulit disangkal: He knows better than us.
And I believe this: It’s not easy for God to break the path we’ve carefully built. But it’s even harder for Him to let us live a life that is not our best life.
Because sometimes, what feels like rejection, is actually redesign.