Adakah ‘Iman’ di ‘Amin’-mu?

Coba jujur, seberapa banyak dari kita mengucapkan "Amin" di akhir doa, sebuah pernyataan iman bahwa kita percaya lewat doa, kita sudah menyerahkan sepenuhnya isi doa kita ke tangan yang paling aman yakni ‘Tuhan Yesus’. Tapi kok, setelah amin, rasanya hati masih "gak aman" rasanya masih “gak nyaman”. Kenapa justru rasa cemas dan khawatir yang malah datang menghantui?

Galatia 5:16-18 memberikan petunjuk penting. Paulus mengingatkan kita tentang dua kekuatan yang saling bertarung dalam diri kita: keinginan daging dan keinginan Roh. Keinginan daging itu segala sesuatu yang berasal dari sifat manusiawi kita yang berdosa; ketakutan, keraguan, keserakahan, dan kecemasan. Inilah suara-suara yang seringkali menggerogoti rasa aman kita, meskipun mulut kita sudah ucap "Amin".

Ketika kita mengatakan "Amin" tetapi hati kita masih berpegang pada keinginan daging, kita seperti menarik rem tangan padahal gas sudah diinjak. Alhasil, kita tidak pernah punya rasa aman karena diri kita masih terus bergulat dengan "keinginan daging yang berlawanan dengan keinginan Roh". Pertentangan batin ini yang buat kita sulit percaya bahwa reaita hidup seusai doa adalah realita yang Tuhan telah kehendaki.

Artinya, ‘Amin’ mestinya jadi langkah iman untuk kita menyerahkan kendali, mendengarkan, dan mengikuti pimpinan Roh Kudus dalam setiap aspek hidup. Saat kita dipimpin oleh Roh, kita tidak lagi dikuasai oleh kecemasan dan keinginan daging.

Jadi, mari yuk kita sama-sama cek lagi. Setelah mengucapkan "Amin", apakah kita benar-benar memberikan diri dipimpin oleh Roh? Apakah kita membiarkan iman mengalahkan ketakutan dan keraguan dalam hati kita? Saat kita secara konsisten memilih untuk hidup oleh Roh, saat itulah "Amin" kita menjadi lebih dari sekadar kata, tapi justru menjadi fondasi bagi rasa aman, damai sejahtera, dan keyakinan yang tidak tergoyahkan, karena kita tahu Bapa yang di surga yang memegang kendali kehidupan.

Previous
Previous

Dipimpin Roh atau Didorong Keinginan

Next
Next

Bandaging Wounds