Bocil Tantrum
“Karena itu, saudara-saudara, demi kemurahan Allah aku menasihatkan kamu, supaya kamu mempersembahkan tubuhmu sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan yang berkenan kepada Allah: itu adalah ibadahmu yang sejati.”
Hampir setiap orang yang saya tahu ketika ia mendengar teguran atau arahan, hampir selalu jawabannya adalah, “Dah tahu.” Siapapun yang pernah ada di posisi mentoring orang lain (e.g., kakak rohani, guru, orang tua, leader, etc) pasti tahu betul perasaan “gemas” ini ketika kita sedang membina orang lain. Pertanyaan besarnya adalah, kalau sudah tahu, terus mengapa tidak dilakukan? Sederhana, karena “mengetahui” dan “mempraktekkan” adalah dua hal yang sangat berbeda. Yang pertama bisa diperoleh dengan Googling atau tanya AI saja, atau didengar dari sekitar kita, sedangkan yang kedua memerlukan proses yang jauh lebih tidak nyaman, yaitu melawan ego kita sendiri.
Dengan kita “mengiyakan” orang lain, itu sama dengan pernyataan, “Yak, kamu lebih benar. I will listen to you.” Mudah kah? Tidak, karena itu ada unsur akuntabilitas dan tanggung jawab yang bukan karakteristik dari bocah. Anak kecil ketika terpojok? Tantrum aja, lepaskan emosimu!! Lalu ketika dikasih yang diinginkan, rasanya menang dan puas. Padahal itu bukan kemenangan, tapi lingkungan yang sudah gondok dengan anak tersebut. Coba kita merenung, jangan-jangan kita masih membawa karakteristik tersebut dalam hidup kita sekarang?
Apa respon kita ketika ditegur? Tidak nyaman mah udah pasti. Tapi buah perilakunya? Apakah berubah betulan? Atau jangan-jangan, malah tantrum versi dewasa: “Lu mah tau apa”, “Anak kecil gak usah sok tahu”, ataupun “Hidup gw beda sama lu”, dan lain-lain.
Penyembahan sejati itu tidak terjadi di atas mimbar pelayanan saja, tapi justru terjadi saat kita menjadi contoh dalam dunia nyata. Gak mudah, karena kita harus “mempersembahkan” hidup/ego kita. Itu semua untuk kebaikan kita kok pada akhirnya. He wants us to grow, for our sake.