Tanggung “Jawab”
“Memang kamu telah mereka-rekakan yang jahat terhadap aku, tetapi Allah telah mereka-rekakannya untuk kebaikan, dengan maksud melakukan seperti yang terjadi sekarang ini, yakni memelihara hidup suatu bangsa yang besar.” -Kejadian 50:20 (TB)
Tanggung “jawab”, betul-betul memiliki makna: Jawaban seperti apa yang kita berikan atas sesuatu yang kita tanggung/pikul? Kalau kita sedang mengalami kebaikan, apa jawaban kita terhadap hal tersebut? Apakah kita mau menikmatinya sendiri, atau kita berbagi kebaikan itu? Kalau kita mengalami rasanya dirugikan oleh keputusan orang lain yang salah, apa jawaban kita? Dwell in bitterness, or getting better? Kalau kita pernah mengalami rasanya dilecehkan, apakah kita menjadi seseorang yang pahit, melecehkan orang lain juga dengan alasan, “Gw dulu dijahatin juga kok”? Atau menjadi berkat dengan berempati dengan orang lain yang memiliki pengalaman serupa, dan berkata, “I know, I feel you. I’ve been there. Yang tegar yah”?
Memang betul, semua orang memiliki masalahnya dengan porsinya masing-masing. Hardships are inevitable and unavoidable. Pertanyaan lebih besarnya adalah: Apa pilihan kita atas pengalaman yang kita tanggung itu? Kita bisa mengumpul 1.000 orang dengan pengalaman yang sama, misalnya, riwayat broken home atau orang tua yang abusive. Tidak semuanya berakhir menjadi trauma, bahkan sebetulnya, most people can thrive well post-traumatic experience! There is hope for you.
Yusuf, seseorang yang tahu betul rasanya keluarga tidak disfungsional (i.e., papa yang pilih kasih, siblings yang cemburuan, etc). Dijual oleh saudara kandungnya sendiri, bahkan tadinya mau dibunuh. Bayangkan kita jadi dia, sudah mencapai titik ada power untuk balas dendam. Kesempatan emas. Did Joseph take that opportunity? No. Justru dia bisa bilang, “Pengalaman pahitku Tuhan pakai untuk menjadikanku berkat. This is my answer to my experience.”
Will we let God transform our experience into blessing? He’ll do so, only if we are willing.