Love Beyond Differences
Punya keluarga artinya kita hidup dekat dengan orang-orang yang paling tahu kelemahan kita. Mereka tahu sisi terbaik kita, tapi juga sisi terburuk kita. Dan jujur saja, kadang justru di dalam keluargalah kita paling gampang kecewa. Kenapa? Karena ekspektasi kita tinggi. Kita pengen mereka selalu mengerti, mendukung, sejalan dengan kita. Tapi kenyataannya, keluarga penuh perbedaan. Ada yang keras kepala, ada yang sensitif, ada yang cuek, ada yang terlalu detail, ada yang terlalu santai.
Kalau perspektif kita salah, perbedaan ini bisa jadi sumber luka. Kita bisa mulai menjauh, dingin, bahkan sinis. Tapi perspektif sehat mengajarkan hal lain: love doesn’t mean sameness. Kasih bukan berarti harus sama dalam segalanya, tapi belajar menerima orang lain apa adanya, bukan hanya versi ideal menurut kita.
Kolose 3:13 berkata, “Sabarlah kamu seorang terhadap yang lain, dan ampunilah seorang akan yang lain...” Artinya, bahkan dalam keluarga, mengasihi bukan tentang menunggu orang lain berubah dulu. Kita dipanggil untuk jadi yang pertama memberi ruang, pertama mengampuni, pertama memilih sabar. That’s hard, yes. Tapi itu kasih sejati, kasih yang berakar di Kristus.
Coba pikir, seberapa sering kita lebih murah hati ke orang luar daripada keluarga sendiri? Kita bisa tersenyum pada teman kantor, tapi ngomel ke pasangan. Kita bisa sabar sama murid atau client, tapi cepat marah ke anak. Kalau begitu, berarti ada yang salah dalam cara kita melihat keluarga.
Mengasihi dalam perbedaan bukan berarti membenarkan semua sikap mereka, tapi memilih untuk see the bigger picture. Bahwa keluarga adalah tempat Tuhan melatih hati kita untuk jadi seperti Kristus yang mengasihi meski kita penuh kelemahan.
Jadi, pertanyaannya: apa yang lebih penting, memenangkan argumen atau memenangkan hati? Karena di akhir hari, tidak ada yang menyesal karena terlalu banyak mengasihi. Tapi banyak yang menyesal karena kehilangan waktu untuk mengasihi keluarga selagi masih ada kesempatan.