A Life Lived as Worship
Ada terang yang tidak padam, bahkan ketika napas terakhir telah terhembus. Terang itu tinggal dalam hati orang yang hidupnya sungguh-sungguh untuk Tuhan, yang setiap langkahnya adalah persembahan, setiap pelayanannya adalah doa tanpa suara.
Hidup ini begitu singkat. Kadang terlalu cepat. Tapi bukan panjangnya waktu yang memberi nilai, melainkan kedalamannya. Ada orang yang hadir hanya sebentar, tapi meninggalkan cahaya yang tak tergantikan. Bukan karena kata-katanya, tapi karena hatinya. Karena kesetiaannya. Karena cintanya pada Tuhan yang terpancar dalam keseharian yang tulus.
Lalu… ada momen yang datang begitu cepat, tanpa tanda, tanpa sempat bersiap. Dan justru di situlah kita tersentak, karena bahkan di hari-hari terakhir, hidup tetap dijalani seperti biasa: siap melayani, siap hadir, siap melakukan hal-hal kecil yang menjadi bentuk kasih kepada Tuhan.
Bukan karena tahu waktunya hampir habis. Tapi karena memang begitulah hidup dijalani setiap hari; dengan kesiapan, kesetiaan, dan kesungguhan. Dan ternyata, cara hidup seperti itulah yang paling indah untuk menutup perjalanan: dalam damai, dalam terang, dalam iman yang tenang namun mengakar.
Yesus berkata: “Demikianlah hendaknya terangmu bercahaya di depan orang, supaya mereka melihat perbuatanmu yang baik dan memuliakan Bapamu yang di sorga.”— Matius 5:16
Satu hidup seperti ini mengingatkan kita bahwa terang sejati tidak harus besar: cukup nyata, cukup setia, dan cukup tulus. Dan saat terang itu berpulang, Tuhan menerimanya.
Hari ini, kalau hati terasa kosong karena kehilangan, biarkan terang itu mengisi ruang duka. Dan kalau hidup terasa biasa-biasa saja, mari nyalakan kembali iman itu. Karena terang itu belum padam, ia kini berpijar di dalam kita.